Pemutusan hubungan kerja (PHK)
PHK
adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa
terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan
pekerja. Karenanya, selama ini singkatan ini memiliki konotasi negatif.
Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab.
Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat, tergantung alasannya, PHK
mungkin membutuhkan penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI)
mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh
penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu
ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja tidak
mengetahui hak mereka.
Sebelum
Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial
masih ditangani pemerintah lewat Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) dan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja
kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan
kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi
pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK
tersebut. Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat, kewajiban ini hanya berlaku bagi
pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu.
Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam
perjanjiannya.
Terdapat
bermacam-masam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri,
tidak lulus masa percobaan
hingga perusahaan pailit. Selain itu:
·
Pekerja mengajukan
PHK karena pelanggaran pengusaha.
·
Pekerja menerima PHK
meski bukan karena kesalahannya.
·
Pernikahan antar
pekerja (jika diatur oleh perusahaan).
·
Pekerja meninggal
dunia.
·
Pekerja sakit
berkepanjangan.
Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada
pengusaha secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam
alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan
pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat:
(i) mengajukan permohonan
selambatnya 30 hari sebelumnya,
(ii) tidak ada ikatan dinas,
(iii) tetap melaksanakan
kewajiban sampai mengundurkan diri. Undang-undang melarang pengusaha memaksa
pekerjanya untuk mengundurkan diri.
Namun
dalam praktik, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak pengusaha. Kadang
kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi
terbaik bagi pekerja maupun pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap
terjaga. Disisi lain pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar
apabila pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha
dan pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Pekerja yang
mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang
masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156
(4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian.
Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara pekerja dan pengusaha,
terkait apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang
pesangon dan penghargaan masa kerja.
Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena
bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang
dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini
tergantung besarnya tingkat kesalahan. Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya
dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah
sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga
secara berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama
6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pengusaha dapat memberikan surat
peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang
layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan
misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung
memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK),
peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam
ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat
mengakibatkan PHK. Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin
dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan
efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun
PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure).
Undang-Undang tegas melarang pengusaha melakukan PHK dengan alasan:
a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara
terus-menerus;
b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan
agamanya;
d. pekerja menikah;
e. pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan,
atau menyusui bayinya;
f. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam PK, PP, atau PKB;
g. pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja,
atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam PK, PP, atau PKB;
h. pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan
paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,
kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja dalam keadaan
cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja
yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dapat dipastikan.
Semenjak
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan
inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK
apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga
tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti
melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini,
Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang
akibat putusan tersebut. Yang termasuk kesalahan berat ialah:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di
lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;dengan ceroboh
atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja
atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
i. melakukan perbuatan
lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih.
Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke
LPPHI bila pengusaha melakukan perbuatan seperti (i) menganiaya, menghina
secara kasar atau mengancam pekerja; (ii) membujuk dan/atau menyuruh pekerja
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
(iii) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih; (iv) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan
kepada pekerja; (v) memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar
yang diperjanjikan; (vi) memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila
hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin
dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan
dibacakan.
Pekerja yang meninggal dunia,
Perusahaan yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan
para pihak. Meski begitu dlama praktek force majeure sering dijadikan alasan
pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.
Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk
melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan
antara pengusaha pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha
setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (LPPHI). Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah
ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan
Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah:
a. pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana
telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara
tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari
pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
untuk pertama kali;
c. pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja meninggal dunia.
e. Pekerja ditahan.
f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang
dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK
Selama
belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan
segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan
skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja.
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan
hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan
kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai
sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.
Mekanisme
perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
Perundingan
Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau
serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam
penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian
perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai
para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai
kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka
tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh
para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan
perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar.
Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus
menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
Dalam
pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para
pihak:
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi
ketenagakerjaan. Dinas tenaga kerja kemudian menunjuk mediator. Mediator
berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya.
Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan
disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan
mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang
ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan
para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai
kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa
anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya
langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke
Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase
kurang populer.
Pihak
yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya
didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap
kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima
permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
mengadili jenis perselisihan lainnya:
(i) Perselisihan yang
timbul akibat adanya perselisihan hak,
(ii) perselisihan
kepentingan dan
(iii) perselisihan antar
serikat pekerja
Pihak
yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi
(tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja
(UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan
UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit
sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
Masa Kerja Uang Pesangon
- masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;
- masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
- masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang
penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK
Masa Kerja UPMK
- masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;
- masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah
Uang
penggantian hak yang seharusnya
diterima (UPH) meliputi :
a.
cuti tahunan yang belum
diambil dan belum gugur;
b.
biaya atau ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;
c.
penggantian perumahan
serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.
hal-hal lain yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.
Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya.
Besaran Pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon
tergantung alasan PHK sebagai berikut:
Alasan PHK Besaran Kompensasi
·
Mengundurkan diri
(kemauan sendiri) berhak atas UPH
·
Tidak lulus masa
percobaan tidak berhak kompensasi.
·
Selesainya PKWT tidak
Berhak atas Kompensasi.
·
Pekerja melakukan
kesalahan berat berhak atas UPH
· Pekerja melakukan
Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan
Perusahaan, berhak atas 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
· Pekerja mengajukan
PHK karena pelanggaran pengusaha, berhak atas 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
·
Pekerja menerima PHK
meski bukan karena kesalahannya, tergantung kesepakatan.
· Pernikahan antar
pekerja (jika diatur oleh perusahaan) , berhak atas 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan
UPH.
· PHK Massal karena
perusahaan rugi atau force majeure, berhak atas 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan
UPH.
·
PHK Massal karena Perusahaan
melakukan efisiensi, berhak atas 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
·
Peleburan,
Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan
kerja, berhak atas 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
· Peleburan,
Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan
kerja, berhak atas 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
·
Perusahaan pailit,
berhak atas 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
·
Pekerja meninggal
dunia, berhak atas 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH.
·
Pekerja mangkir 5
hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut berhak atas UPH dan
Uang pisah.
·
Pekerja sakit
berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan), berhak atas 2 kali
UP, 2 kali UPMK, dan UPH
·
Pekerja memasuki usia
pensiun, diatur sesuai Pasal 167 UU 13/2003.
·
Pekerja ditahan dan
tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan), berhak atas 1 kali UPMK dan
UPH.
Komentar
Posting Komentar
Kritik & saran sangat membantu demi kasempurnaan blog ini.
Terima kasih.
:)
Admin