KERAJAAN-KERAJAAN HINDU-BUDHA DI INDONESIA
KERAJAAN
SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya berpusat
di daerah yang sekarang dikenal sebagai Palembang di Sumatra. Pengaruhnya amat
besar meliputi Indonesia,
Semenanjung Malaysia
dan Filipina.
Kekuasaan Sriwijaya merosot
pada abad ke-11. Kerajaan Sriwijaya mulai ditaklukkan oleh berbagai kerajaan
Jawa, pertama oleh kerajaan Singosari (Singhasari) dan akhirnya oleh kerajaan
Majapahit.
Malangnya, sejarah Asia
Tenggara tidak didokumentasikan dengan baik. Sumber sejarahnya berdasarkan
laporan dari orang luar, prasasti dan penemuan arkaelogi, artifak seperti
patung dan lukisan, dan hikayat.
Kerajaan Sriwijaya banyak
dipengaruhi budaya India,
pertama oleh budaya agama Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha.
Agama Buddha diperkenalkan di Srivijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya
merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu melewati perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9.
Kerajaan Sriwijaya juga
membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra,
Semenanjung Melayu, dan pulau Kalimantan
bagian Barat.
Pada masa yang sama, agama
Islam memasuki Sumatra melalui Aceh yang telah
tersebar melalui hubungan dengan pedagang Arab dan India. Pada tahun 1414 pangeran
terakhir Sriwijaya, Parameswara, memeluk agama Islam dan berhijrah ke
Semenanjung Malaya dan mendirikan Kesultanan
Melaka.
Agama Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana disebarkan di pelosok kepulauan nusantara dan Palembang menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha. Pada tahun 1017, 1025, dan 1068, Sriwijaya telah
diserbu raja Chola dari kerajaan Colamandala(India) yang mengakibatkan hancurnya
jalur perdagangan. Pada serangan kedua tahun 1025, raja Sri Sanggramawidjaja
Tungadewa ditawan. Pada masa itu juga, Sriwijaya telah kehilangan monopoli atas
lalu-lintas perdagangan Tiongkok-India. Akibatnya kemegahan Sriwijaya menurun.
Kerajaan Singasari yang berada di bawah naungan Sriwijaya melepaskan diri. Pada
tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, yang dahulunya berada di bawah naungan
Sriwijaya menjadikan Sriwijaya taklukannya. Kekuatan kerajaan Melayu Jambi
berlangsung hingga dua abad sebelum akhirnya melemah dan takluk di bawah
Majapahit.
KERAJAAN
MATARAM KUNO
Kerajaan Mataram
(Hindu-Buddha), sering disebut dengan Kerajaan Mataram Kuno sebagai pembeda
dengan Mataram Baru atau Kesultanan Mataram (Islam), adalah suatu kerajaan yang
berkuasa di Jawa Tengah bagian selatan antara abad ke-8 dan abad ke-10.
Kerajaan Mataram terdiri dari dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti
Syailendra. Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu didirikan oleh Sanjaya pada
tahun 732. Beberapa saat kemudian, Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha
Mahayana didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Kedua dinasti ini berkuasa
berdampingan secara damai. Nama Mataram sendiri pertama kali disebut pada
prasasti yang ditulis di masa raja Balitung.
DINASTI SYAILENDRA
Photo : Candi Borobudur,
salah satu peninggalan Dinansti Syailendra
Dinasti Syailendra diduga
berasal dari daratan Indocina (sekarang Thailand dan Kamboja). Dinasti ini
bercorak Budha Mahayana, didirikan oleh Bhanu pada tahun 752. Pada awal era
Mataram Kuno, Dinasti Syailendra cukup dominan dibanding Dinasti Sanjaya. Pada
masa pemerintahan raja Indra (782-812), Syailendra mengadakan ekspedisi
perdagangan ke Sriwijaya. Ia juga melakukan perkawinan politik: puteranya,
Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya. Pada tahun
790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat
berkuasa di sana
selama beberapa tahuan. Peninggalan terbesar Dinasti Syailendra adalah Candi Borobudur yang selesai dibangun pada masa pemerintahan
raja Samaratungga (812-833).
DINASTI SANJAYA
Tak banyak yang diketahui
sejarah Dinasti Sanjaya sejak sepeninggal Raja Sanna. Rakai Pikatan, yang waktu
itu menjadi pangeran Dinasti Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani
(833-856), puteri raja Dinasti Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh
Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama
Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa (putera Samaratungga
dan Dewi Tara). Tahun 850, era Dinasti Syailendra berakhir yang ditandai dengan
larinya Balaputradewa ke Sriwijaya.
Pada tahun 910, Raja
Tulodong mendirikan Candi Prambanan. Prambanan merupakan kompleks candi Hindu
terbesar di Asia Tenggara. Pada masa ini, ditulis karya sastra Ramayana dalam
Bahasa Kawi. Tahun 928, Raja Mpu Sindok memindahkan istana Kerajaan Mataram
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (Medang). Perpindahan ini diduga akibat letusan Gunung
Merapi, atau mendapat serangan dari Sriwijaya.
KERAJAAN
SUNDA
Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara.
Dalam catatan perjalanan Tome Pires ( 1513 ), disebutkan bahwa dayo (dayeuh) Kerajaan
Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara
Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan kedua kerajaan ini juga
terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang
Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah
Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri
Jayabupati.
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang berasal dari
Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara
yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia
ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba
(ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri
Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Karena Putera Mahkota Galuh
berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kerajaan Kalingga, Jawa
Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa
supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin
menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun
670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas.
LOKASI IBU KOTA SUNDA
Maharaja Tarusbawa kemudian
mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian
sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita
Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di
Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah
sampai tahun 723 M.
Sunda sebagai nama kerajaan
tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti
Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan
Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama
halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir
Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
KETERLIBATAN KALINGGA
Karena putera mahkota wafat
mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama
Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah
yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit
Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia
dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan
Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.
Sebagai ahli waris Kalingga
ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram
Kuno) dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya
dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai
Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga
Selatan atau Bumi Sambara.
PRASASTI JAYABUPATI
ISI PRASASTI
Telah diungkapkan di awal
bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan
di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan
empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan
pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung
Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan
prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti
itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D
96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
1. D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita
952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka
diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen
wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana
wikra-mottunggadewa, ma-
2. D 96 :
Gaway tepek i
purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang
tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang
tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti
pagepageh. mangmang sapatha.
3. D 97 :
sumpah denira
prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan
isi prasasti, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka
952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku
Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah
prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh
Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20
baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut
melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut
diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan
menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah
dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang
kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
TANGGAL PRASASTI
Tanggal pembuatan Prasasti
Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa
III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030
-1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak
hanya huruf, bahasa dan gaya,
melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton
Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama
Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
PENYEBAB PERPECAHAN
Telah diungkapkan
sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu
terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan
bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun
669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya
kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9
bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal
18 Mei 669 M.
SANNA DAN PURBASORA
Tarusbawa adalah sahabat
baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga
dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus
paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil
Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari
tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu
Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri
kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera
bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya Purbasora dan
Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan
istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya
menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki
cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh
dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta
Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat
Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.
Dengan bantuan pasukan dari
mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan
perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan
nenek isterinya, Maharani Shima.
SANJAYA DAN BALANGANTRANG
Sanjaya, anak Sannaha
saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan
setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah
menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal,
yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya,
sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari
dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil
meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama
segelintir pasukan.
Patih itu bernama Bimaraksa
yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati
kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama
Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun
karena menderita “kemir” atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung
Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat
dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai
pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.
Sanjaya mendapat pesan dari
Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus
tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia
melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil
mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung
dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa
Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau
hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.
Sanjaya sendiri tidak bisa
menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya
Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia
menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja
Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di
Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu
berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia
telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa
sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.
PREMANA, PANGREYEP DAN TAMPERAN
Penunjukkan Premana oleh
Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya,
Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili
keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan
Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718
M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau
Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian
hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan
mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan
Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk mengikat kesetiaan
Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan
Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu
Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin
“garnizun” Sunda di ibukota Galuh.
Premana Dikusumah menerima
kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena
Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan
yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya.
Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena
mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan Premana serba
sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus
tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu,
maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan
Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya,
Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang
sekaligus menjadi “mata dan telinga” Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep,
istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).
Skandal itu terjadi karena
beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan
kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah
berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa;
ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai
orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk menghapus jejak
Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan
lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya
tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
TAMPERAN SEBAGAI RAJA
Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan
kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara
puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan
Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru
Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah Tamperan menjadi
penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M.
Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana
perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger
Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan
seperti anak sendiri.
Sesuai dengan rencana
Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta
sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama
anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang
memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta itu berhasil dalam
waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai
Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga
dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada
malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.
Akan tetapi hal itu
diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah.
Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan
Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan
panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.
MANARAH DAN BANGA
Berita kematian Tamperan
didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang
kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah
menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa
pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan
raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang besar sesama
keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan
(lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh
dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama
periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian
itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang
senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap
hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk memperteguh perjanjian,
Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai
penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri
Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji
Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.
KETURUNAN SUNDA DAN GALUH
SELANJUTNYA
Naskah tua dari kabuyutan
Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14
memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya
sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus
berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah
barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah
27 tahun lamanya (739 - 766).
Manarah di Galuh memerintah
sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan
manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa
sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam naskah-naskah babad,
posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana
Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja.
Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh
Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah
Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.
Kekeliruan paling menyolok
dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit.
Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun
setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan
Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.
Keturunan Manarah putus
hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh
diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon
(819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari
Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu
diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para
kerabat keraton: Sunda-Galuh-Kuningan (Saunggalah).
HUBUNGAN SUNDA-GALUH DAN
SRIWIJAYA
Sri Jayabupati yang
prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra
Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih
kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri
dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.
Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya,
Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja Sri Jayabupati pernah
mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda
keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan
yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada
puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam
kekecewaan karena harus “menyaksikan” Dharmawangsa diserang dan dibinasakan
oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya
serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar
bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu
terjadi tahun 1019 M.
DAFTAR RAJA-RAJA SUNDA
Di bawah ini adalah urutan
raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati yang berjumlah 20 orang :
1. Maharaja Tarusbawa (669 -
723 M)
2. Sanjaya Harisdarma,
cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya
(732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766
M).
5. Rakeyan Medang Prabu
Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu
no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara,
menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan
Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa
(adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10. Windusakti Prabu
Dewageng (895 - 913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading
Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri Prabu
Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13. Prabu Resi Atmayadarma
Hariwangsa (942-954 M).
14. Limbur Kancana,putera
no. 11,(954-964 M).
15. Prabu Munding Ganawirya
(964-973 M).
16. Prabu Jayagiri Rakeyan
Wulung Gadung (973 - 989 M).
17. Prabu Brajawisesa
(989-1012 M).
18. Prabu Dewa Sanghyang
(1012-1019M).
19. Prabu Sanghyang Ageng
(1019 - 1030 M).
20. Prabu Detya Maharaja Sri
Jayabupati (1030-1042 M)
Kecuali Tarusbawa (no. 1),
Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelat barat
Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.
Komentar
Posting Komentar
Kritik & saran sangat membantu demi kasempurnaan blog ini.
Terima kasih.
:)
Admin